-->

“Sebanyak apa kebahagiaan? Sebanyak rasa syukurmu kepada Tuhan”


Wanita Bahagia

Tiba-tiba, ditengah malam yang hening, diantara luapan hasrat menulis (dari hati) yang sudah lama tidak saya lakukan, sederat kata-kata diatas muncul dalam benak saya. Bahagia, akan menjadi kata kunci dari tulisan kali ini.

Sebelum membahas kebahagian versi saya sendiri, saya ingin sedikit berbagi kisah tentang korelasi kebahagian dengan pekerjaan. Sekian tahun lepas masa kuliah, saya terkadang mengamati teman-teman dulu semasa kuliah yang kini rata-rata sudah bekerja. Ada yang bekerja sesuai dengan bidang pendidikan, adapula yang memilih untuk bekerja tidak sesuai jurusan. Well, apapun pilihannya… setiap orang pasti punya alasan atas setiap pilihan yang mereka ambil. Seringkali saya melihat atau mendengar, orang yang bekerja dengan gaji yang banyak (menurut saya) tapi sering mengeluh karena sebagian besar waktunya habis untuk bekerja, belum lagi menghadapi tekanan pekerjaan yang ada. Dilain waktu, adapula orang yang bekerja dengan pendapatan yang mungkin terbilang pas-pasan tapi ia terlihat bahagia. Jujur, saya lebih senang dengan tipe yang kedua. Tapi kalau ada yang bisa bekerja, dapat penghasilan yang banyak sekaligus bisa merasa bahagia dengan apa yang  dilakukan, ini lebih bagus lagi.

Kita abaikan saja masalah gaji yang banyak atau sedikit. Mari kembali kepada kata “bahagia”. Dari sekilas cerita di atas, kita bisa melihat bahwa terkadang kebahagian tidak melulu soal banyaknya uang. Entah mengapa, saya sedih tiap kali melihat teman saya merasa tidak bahagia atas pekerjaan yang ia jalani. Kesannya seperti bekerja karena terpaksa. Tapi setiap kali saya melihat ada orang yang bahagia dengan pekerjaan yang ia jalani, saya seakan merasa ikut bahagia. Hasilnya pasti beda, pekerjaan yang beroreantasi pada uang dengan pekerjaan untuk mendapat kebahagian.

Kebahagian versi saya sangat sederhana, saya hanya ingin melakukan apapun yang ingin saya lakukan selama itu baik dan tidak merugikan orang lain. Ya… sesederhana itu. Apa yang saya lakukan saat ini adalah hasil dari pilihan yang saya ambil. Saya tidak ingin menjalani sesuatu yang berasal dari pilihan orang lain karena saya bertanggung jawab penuh terhadap hidup saya dan saya yang akan menjalani semua itu, saya pula yang tahu bagaimana rasanya. Tidak mudah memang, terkadang harus menghadapi pandangan orang atas apa yang kita lakukan, tapi bukankah orang lain tidak berhak menentukan kebahagian saya? Versi bahagia menurut saya mungkin berbeda dengan versi kalian, lalu apakah saya harus bahagia menurut cara orang lain?Tidak! Kebahagiaan itu saya sendiri yang menentukan dan saya berhak memperolehnya dengan cara sendiri.

Sebuah pilihan memang tidak selalu mudah, tapi akan lebih sulit jika menjalani pilihan yang bukan berasal dari diri sendiri. 4 tahun lebih menjalani sesuatu yang sepenuhnya tidak menjadi pilihan saya sendiri, sedikit banyak berpengaruh terhadap hidup saya saat ini. Ada semacam trauma yang akhirnya membuat saya menjadi lebih keras kepala untuk tidak lagi melakukan sesuatu karena pilihan orang lain.

Ya… 4 tahun lebih menjalani pendidikan yang saya rasa itu bukanlah bidang saya, sungguh tidak nyaman. Bagaimana menjelaskan kepada orang lain tentang perasaan saya, setiap kali merasa saya adalah orang yang paling bodoh ketika tidak mampu mengerjakan soal algoritma atau ketika saya bingung harus melakukan apa saat peraktikum karena teman sekelompok yang pintar lebih mendominasi dan tidak mengarahkan saya melainkan lebih menatap saya dengan tatapan mengintimidasi. Saya merasa payah diantara kumpulan orang-orang pintar. Saya ingin pindah tempat, tapi demi sebuah makna “patuh”, saya harus bertahan.

Lepas dari semua itu, saya mengerti bahwa ternyata bahagia itu begitu sederhana, cukup bisa melakukan apa yang kamu inginkan dan senangi, rasanya semua itu lebih dari cukup. Tak perduli dengan banyak atau sedikit uang yang didapat, tak perduli dengan pandangan orang, yang kamu tahu, kamu bahagia.

Tapi bagaimana menjelaskan kepada mereka yang bertanya, “berapa uang yang kamu dapat dari apa yang kamu kerjakan?” saya bingung, bukan karena tidak mampu menghitung jumlah nominal yang saya dapat, melainkan bingung bagaimana caranya membuat mereka paham yang masih meletakkan kebahagian pada tumpukan uang bahwa bagi saya, kebahagian bukanlah sekedar soal uang melainkan tentang kepuasan batin.

Bagaimana saya harus menjelaskan kepada mereka, bahwa pekerjaan, jabatan, uang yang banyak bukanlah sesuatu yang saya inginkan saat ini. Bagaimana saya harus menjelaskan bahwa saya sudah merasa cukup bahagia menjalani pekerjaan yang saat ini saya lakukan meski mungkin hasilnya tidak seberapa, meski mereka seringkali tidak menganggap ini sebuah pekerjaan yang layak.

Bagaimana saya harus menjelaskan kepada mereka, bahwa saya sudah sangat bahagia dengan semua ini. Uang yang banyak, yang mungkin saja saya bisa dapatkan dengan bekerja ditempat lain dengan jam kerja yang hampir seharian itu, takkan mampu membeli waktu saya bersama orang-orang yang saya sayangi, seperti saat ini. Saya tak sanggup menukar waktu kebersamaan bersama orang terkasih dengan uang sebanyak apapun itu… karna waktu yang sudah berlalu takkan bisa dibeli oleh apapun.

Beruntunglah mereka, anak-anak yang memiliki orang tua yang memahami bahwa kebahagian tidak melulu soal uang, melainkan bisa didapat dari hal yang paling sederhana sekalipun.

Jadi… bolehkan saya merasa bahagia versi saya sendiri?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel